Ulasan Surat Edaran Kementrian BUMN (BUMN vs Keppres 80)

A. LATAR BELAKANG
Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah lama menjadi payung hukum sekaligus pedoman bagi setiap instansi Pemerintah dalam melakukan proyek. Keppres yang telah mengalami enam kali perubahan ini telah mampu menjadi rambu untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan penyelewengan dalam proyek pengadaan.

Namun secara mengejutkan, pada tanggal 25 Juni 2007, Kementerian BUMN mengeluarkan surat edaran bernomor S-298/S.MBU/2007 yang ditujukan kepada seluruh jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN untuk mengabaikan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam surat edaran itu dinyatakan bahwa BUMN ketika melaksanakan tender tidak terikat pada Keppres No. 80 Tahun 2003, melainkan dapat membuat peraturan pengadaan sendiri dengan mengacu pada ketentuan Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. Selain itu, diperkenankan bagi BUMN untuk melakukan penunjukan langsung apabila kegiatan pengadaan barang/jasa bersifat mendesak.
Surat edaran ini dikeluarkan sebagai usaha kementerian BUMN menanggapi pertanyaan beberapa BUMN yang membutuhkan opini hukum tentang pengadaan barang/jasa. Banyak manajemen operasional BUMN mengeluhkan peraturan pengadaan barang/jasa yang terdapat dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 ini terlalu rumit dan bertele-tele. Selain itu, Kementerian BUMN juga mengajukan alasan bahwa BUMN bukan instansi pemerintah melainkan entitas bisnis yang dalam operasionalnya memiliki pengaturan tersendiri dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan proyek pengadaan barang/jasa yang diadakan tidak dibiayai oleh APBN/APBD sehingga ketentuan pengadaan barang/jasa yang diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 tidak dapat diberlakukan bagi BUMN.
Keberadaan surat edaran ini telah memicu banyak pertanyaan karena banyak pihak mengaku belum mengetahui keberadaan surat edaran ini dan dengan adanya penunjukan langsung dikhawatirkan akan menumbuh-suburkan penyelewengan dalam proyek pengadaan. Selain itu, banyak pihak mengeluhkan dengan tidak terikatnya keppres pengadaan barang/jasa ini bagi BUMN, maka tidak ada lagi kewajiban bagi BUMN untuk memprioritaskan penggunaan produk lokal dalam tender pengadaan barang/jasa.

B. PERMASALAHAN
Apakah surat edaran kementerian BUMN bernomor S-298/S.MBU/2007 yang dikeluarkan pada tanggal 25 Juni 2007 ini tidak bertentangan dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah?

C. PEMBAHASAN
1. Kedudukan Keppres (sekarang Perpres)
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.(Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003). Keuangan Negara meliputi kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah (Pasal 1 angka 2 UU No. 17 Tahun 2003).
Kekuasaan atas pengelolaan keuangan Negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara, sehingga setiap tahun disusun APBN dan APBD. Salah satu penggunaan dana APBN/APBD adalah dalam bentuk penyertaan modal Negara pada Persero dan/atau Perum serta Perseroan Terbatas lainnya, yang digolongkan sebagai Kekayaan Negara yang dipisahkan.
BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan (Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN). Artinya bahwa secara langsung maupun tidak langsung, dapat dikatakan bahwa dalam operasionalnya, BUMN tetap menggunakan APBN Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Pengadaan barang/jasa adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia
barang/jasa.
Pengaturan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa terdapat dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 (sekarang Perpres). Ruang lingkup berlakunya Keppres ini adalah untuk :
a.pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD;
b.pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) yang sesuai atau tidak bertentangan dengan pedoman dan ketentuan pengadaan barang/jasa dari pemberi pinjaman/hibah bersangkutan;
c.pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan BI, BHMN, BUMN, BUMND, yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.

Pasal 7 ayat (2) Keppres No. 80 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dari dana APBN, apabila ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri/Pemimpin Lembaga/Panglima TNI/Kapolri/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BUMN/Direksi BUMN harus tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Keputusan Presiden ini. Sebenarnya dengan adanya ketentuan ini sudah jelas bahwa pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus tunduk pada pengaturan Keppres No. 80 Tahun 2003 (sekarang Perpres).
Alasan Kementerian BUMN mengeluarkan surat edaran antara lain karena adanya ketentuan Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN yang secara eksplisit menyatakan ada 2(dua) sumber dana yang digunakan oleh BUMN dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa yang berimplikasi pada pembedaan pengaturan, dimana dinyatakan direksi BUMN berwenang menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa bagi BUMN yang bersangkutan, pada kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dibiayai diluar APBN, berdasarkan pedoman umum yang ditetapkan Menteri, dengan memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi dan transparansi.
Bila dilihat dari jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, Keppres (sekarang Peraturan Presiden) walaupun diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, kedudukannya berada di bawah Peraturan Pemerintah (Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), sehingga dengan mengingat asas lex superior derogate legi inferior, dapat dibenarkan bagi Kementerian BUMN untuk mengeluarkan pedoman umum bagi kegiatan pengadaan barang dan jasa BUMN yang pembiayaannya berasal dari luar
APBN.

Namun harus diingat bahwa Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004), dan dalam Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dinyatakan bahwa modal BUMN berasal dari APBN, sehingga sebenarnya tidak dapat dilakukan pembedaan pengaturan terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilakukan BUMN dengan kriteria asal pembiayaan kegiatan pengadaan barang/jasa.

2. Surat Edaran
Bila ditinjau dari sudut Hukum Administrasi Negara, surat edaran merupakan contoh peraturan kebijaksanaan (beleidsregel). Surat edaran ini merupakan perwujudan dari kewenangan bebas (freies ermessen) yang dikeluarkan oleh badan/pejabat Tata Usaha Negara dalam bentuk tertulis serta setelah itu diberlakukan kepada para warga. Isi peraturan kebijakan ini dimaksudkan untuk menindaklanjuti peraturan umum, karena sebenarnya badan/pejabat TUN yang mengeluarkan kebijakan sama sekali tidak memiliki kewenangan membuat peraturan umum. Surat Edaran sebagai contoh beleidsregel dapat dikeluarkan :
- karena situasi konkrit;
- karena adanya peraturan yang tidak jelas yang butuh untuk ditafsirkan.
Dengan melihat alasan dikeluarkannya beleidsregel, dapat dikatakan bahwa surat edaran yang dikeluarkan Kementerian BUMN tidak tepat. Surat edaran Kementerian BUMN tidak dikeluarkan atas dasar situasi, karena tidak ada situasi konkrit apapun saat ini yang mendesak Kementerian BUMN untuk mengeluarkan suatu surat edaran, dan surat edaran yang dikeluarkan oleh kementerian ini bukan merupakan penafsiran dari peraturan yang tidak jelas, malah menciptakan suatu norma baru berupa penunjukan langsung untuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dibiayai diluar APBN.
Selain itu, dengan mengingat sifat dari beleidsregel yang tidak memaksa/mengikat masyarakat maka keberadaan surat edaran ini juga tidak memiliki kekuatan hukum. Apabila Kementerian BUMN masih berkeinginan untuk membuat peraturan khusus pengadaan barang/jasa bagi BUMN, maka dalam UU BUMN harus ditambahkan suatu pasal yang menunjukkan adanya pembedaan sumber dana bagi kegiatan operasional BUMN. Dari pasal tersebut, dikeluarkan suatu Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang tersebut, dan bukan untuk menciptakan suatu norma baru. Peraturan Pemerintah ini kemudian akan dijabarkan dalam suatu penetapan Menteri yang memberikan penjelasan secara teknis dan operasional tentang kegiatan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN, bukan melalui surat edaran yang tidak memiliki kekuatan hukum.

3. Filosofi pelelangan
Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 menyatakan bahwa pedoman umum yang dikeluarkan oleh Menteri dalam mengatur kegiatan pengadaan barang/jasa BUMN yang dibiayai diluar APBN harus menganut prinsip efisiensi dan transparansi. Atas dasar inilah kemudian Kementerian BUMN mengeluarkan surat edaran yang menyatakan Keppres No. 80 Tahun 2003 (sekarang Perpres) tidak mengikat BUMN, demi menghindari proses pengadaan barang/jasa yang terlalu rumit dan bertele-tele. Padahal pada asasnya prinsip efisiensi dan transparansi yang dianut dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga menjadi tujuan diberlakukannya Keppres ini yaitu agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan
secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel (Pasal 2 ayat (3) Keppres No. 80 Tahun 2003), sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Sebaliknya dengan dikeluarkannya surat edaran ini justru membuka peluang bagi terciptanya penyimpangan dalam proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa, dan memunculkan iklim persaingan usaha yang tidak sehat khususnya bagi pengusaha kecil.

D. KESIMPULAN
Dikeluarkannya surat edaran bernomor S-298/S.MBU/2007 yang pada tanggal 25 Juni 2007 adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena :
1.Pasal 99 ayat (1), (2) dan ayat (3) PP No. 45 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum dikeluarkan surat edaran ini bertentangan dengan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal 99 menyatakan bahwa terdapat pembedaan sumber dana bagi kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilakukan BUMN. Bagi kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai selain dari APBN, Direksi BUMN menetapkan tata cara pengadaan barang/jasa bagi BUMN yang bersangkutan. Padahal UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan secara tegas bahwa modal BUMN baik sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan yaitu dari APBN. Penyertaan Negara ini menjadi modal bagi BUMN untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa yang merupakan salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN. Artinya baik secara langsung atau tidak, kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh BUMN harus tunduk dan terikat pada Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang pengadaan barang/jasa.

2.Pasal 7 ayat (1) dan (2) Keppres No. 80 Tahun 2003 Ketentuan Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari APBN merupakan ruang lingkup berlakunya Keppres ini, dan ketentuan Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dari dana APBN, apabila ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri/Pemimpin Lembaga/Panglima TNI/Kapolri/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BUMN/Direksi BUMN harus tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Keputusan Presiden ini. Sebenarnya dengan adanya ketentuan ini sudah jelas bahwa pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus tunduk pada pengaturan Keppres No. 80 Tahun 2003 (sekarang Perpres).

3.Alasan dikeluarkannya surat edaran ini tidak tepat. Surat edaran ini dikeluarkan bukan karena situasi konkrit yang mendesak, dan keberadaan surat edaran ini bukan menafsirkan peraturan yang tidak jelas, malah menciptakan suatu norma baru yaitu penunjukan langsung bagi kegiatan pengadaan barang/jasa yang bersifat mendesak.

4.Sifat surat edaran Surat edaran sebagai beleidsregel sifatnya tidak memaksa/mengikat.

Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka BUMN harus tetap tunduk pada ketentuan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa.

Dikutip dari :
http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/SEKementrianBUMN.pdf